Tapi bagi saya, novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, masih jauh lebih berharga dari filmnya. Sambil bersantai menyandarkan punggung ke gulungan kasur, saya bisa menikmatinya. Tenggelamnya Kapal van der Wijck is an Indonesian serial and later novel by Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka; 1908–1981) published in 1938. It follows the failed love between Zainuddin, a mixed-race man, and Hayati, a pure Minang woman. Hamka, an Islamic scholar who disapproved of Minang adat (traditions).
Anda tahu apa sebabnya? Saya juga tidak tahu. Ini hanya mengira-ngira. Mengapa karya Hamka seringkali menenggelamkan pembaca, adalah karena Hamka, mengarang dengan jiwa.
Hamka melahirkan kata-kata dari jiwanya, sepenuh hatinya. Saat dia menuliskan nasib Zainudin, dia begitu terlibat dengan jiwa si tokoh.
Ini seperti yang dia sendiri tuliskan dalam novel ini. Hamka menggambarkan bagaimana Zainudin saat mengarang. Jika malam telah larut, dan suasana menjadi sunyi, dikembalikannya segala kedukaan yang pernah dialaminya, maka bergulung-gulung kepedihan, semenjak pedih ditinggal ayah ibunya, pengusiran yang membuatnya terpisah dari Hayati buah hatinya, hingga mungkir janji Hayati yang membuatnya sampai jatuh sakit, dihamparkannya ke dalam karangan. Maka, jika dia melukiskan anak kehilangan ayah, dia lukiskan sesakit-sakitnya, hingga siapa pun membaca, akan merasakan jelas bagaimana sakitnya batin seorang anak kehilangan ayah, dan jika menulis tentag pengkhianatan, pembaca akan merasakan jelas kebencian orang yang mendapatkan pengkhianatan itu.
Saya kira, Zainudin adalah pelukisan diri Hamka sendiri, sebagaimana Hamka melukiskan cara Zainudin mengarang, saya kira, dengan cara itu pula Hamka mengarang. Itulah sebab, sebagian sebab--menurut saya--yang menjadikan tulisan-tulisan Hamka senantiasa merendam jiwa. Sambil meneruskan kisah Zainudin dan segala dukalaranya, sempat Hamka paparkan pula, bagaimana jiwa seorang pengarang. Shablon obertki shokolada alenka. Satu bab dia khususkan, judulnya 'Jiwa Pengarang'. Hamka jelaskan, bahwa seorang pengarang, melahirkan karyanya bukan dengan rumus, melainkan, dengan jiwanya.
Seorang pengarang menulis, dan jiwanyalah yang membimbingnya menulis. Maka terkadang, tulisan seorang pengarang itu biasa-biasa saja, namun tertangkapnya oleh pembaca, indah luar biasa. Sebagian lain menulis dengan bahasa sulit, dan susah dimengerti, akan tetapi, tatkala tulisan itu dibaca orang, justru orang menikmati bahasa sulitnya.
Tapi bagi saya, novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, masih jauh lebih berharga dari filmnya. Sambil bersantai menyandarkan punggung ke gulungan kasur, saya bisa menikmatinya. Tenggelamnya Kapal van der Wijck is an Indonesian serial and later novel by Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka; 1908–1981) published in 1938. It follows the failed love between Zainuddin, a mixed-race man, and Hayati, a pure Minang woman. Hamka, an Islamic scholar who disapproved of Minang adat (traditions).
Anda tahu apa sebabnya? Saya juga tidak tahu. Ini hanya mengira-ngira. Mengapa karya Hamka seringkali menenggelamkan pembaca, adalah karena Hamka, mengarang dengan jiwa.
Hamka melahirkan kata-kata dari jiwanya, sepenuh hatinya. Saat dia menuliskan nasib Zainudin, dia begitu terlibat dengan jiwa si tokoh.
Ini seperti yang dia sendiri tuliskan dalam novel ini. Hamka menggambarkan bagaimana Zainudin saat mengarang. Jika malam telah larut, dan suasana menjadi sunyi, dikembalikannya segala kedukaan yang pernah dialaminya, maka bergulung-gulung kepedihan, semenjak pedih ditinggal ayah ibunya, pengusiran yang membuatnya terpisah dari Hayati buah hatinya, hingga mungkir janji Hayati yang membuatnya sampai jatuh sakit, dihamparkannya ke dalam karangan. Maka, jika dia melukiskan anak kehilangan ayah, dia lukiskan sesakit-sakitnya, hingga siapa pun membaca, akan merasakan jelas bagaimana sakitnya batin seorang anak kehilangan ayah, dan jika menulis tentag pengkhianatan, pembaca akan merasakan jelas kebencian orang yang mendapatkan pengkhianatan itu.
Saya kira, Zainudin adalah pelukisan diri Hamka sendiri, sebagaimana Hamka melukiskan cara Zainudin mengarang, saya kira, dengan cara itu pula Hamka mengarang. Itulah sebab, sebagian sebab--menurut saya--yang menjadikan tulisan-tulisan Hamka senantiasa merendam jiwa. Sambil meneruskan kisah Zainudin dan segala dukalaranya, sempat Hamka paparkan pula, bagaimana jiwa seorang pengarang. Shablon obertki shokolada alenka. Satu bab dia khususkan, judulnya 'Jiwa Pengarang'. Hamka jelaskan, bahwa seorang pengarang, melahirkan karyanya bukan dengan rumus, melainkan, dengan jiwanya.
Seorang pengarang menulis, dan jiwanyalah yang membimbingnya menulis. Maka terkadang, tulisan seorang pengarang itu biasa-biasa saja, namun tertangkapnya oleh pembaca, indah luar biasa. Sebagian lain menulis dengan bahasa sulit, dan susah dimengerti, akan tetapi, tatkala tulisan itu dibaca orang, justru orang menikmati bahasa sulitnya.